Powered By Blogger

Senin, 20 Desember 2010

Jika kamu memancing ikan....
Setelah ikan itu terlekat di mata kail, hendaklah kamu mengambil ikan itu....
Janganlah sesekali kamu lepaskan ia semula ke dalam air begitu saja....
Karena ia akan sakit oleh karena bisanya ketajaman mata kailmu dan mungkin ia akan menderita selagi
ia masih hidup.

Begitulah juga setelah kamu memberi banyak pengharapan kepada seseorang...
Setelah ia mulai menyayangimu hendaklah kamu menjaga hatinya....
Janganlah sesekali kamu meninggalkannya begitu saja....
Karena dia akan terluka oleh kenangan bersamamu dan mungkin tidak dapat melupakan segalanya
selagi dia mengingatmu....

Jika kamu menadah air biarlah berpada, jangan terlalu mengharap pada takungannya dan janganlah
menganggap ia begitu teguh.... cukuplah sekadar keperluanmu....
Apabila sekali ia retak.... tentu sukar untuk kamu menambalnya semula....Akhirnya ia dibuang ....
Sedangkan jika kamu coba membaikinya mungkin ia masih dapat dipergunakan lagi....

Begitu juga jika kamu memiliki seseorang, terimalah seadanya....
Janganlah kamu terlalu mengaguminya dan janganlah kamu menganggapnya begitu istimewa....
Anggaplah dia manusia biasa.
Apabila sekali dia melakukan kesilapan bukan mudah bagi kamu untuk menerimanya....
akhirnya kamu kecewa dan meninggalkannya.
Sedangkan jika kamu memaafkannya boleh jadi hubungan kamu akan terus hingga ke akhirnya....

Jika kamu telah memiliki sepinggan nasi...
yang kamu pasti baik untuk dirimu. Mengenyangkan. Berkhasiat.
Mengapa kamu berlengah, coba mencari makanan yang lain..
Terlalu ingin mengejar kelezatan.
Kelak, nasi itu akan basi dan kamu tidak boleh memakannya.
Kamu akan menyesal.

Begitu juga jika kamu telah bertemu dengan seorang insan..... yang kamu pasti membawa kebaikan
kepada dirimu. Menyayangimu. Mengasihimu.
Mengapa kamu berlengah, coba membandingkannya dengan yang lain.
Terlalu mengejar kesempurnaan.
Kelak, kamu akan kehilangannya apabila dia menjadi milik orang lain.
Kamu juga yang akan menyesal.

Kamis, 09 Desember 2010

KTSP


IMPLEMENTASI KTSP DI SEKOLAH/MADARASAH


MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Teknologi Pendidikan
Dosen Pengampu: Drs. Fatah Sukur NC, M.Ag




Disusun oleh
YOGA DWI PRASETYO
083111124




FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2010

IMPLEMENTASI KTSP DI SEKOLAH/MADARASAH

  1. Pendahuluan
Dalam proses pendidikan, kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Tanpa kurikulum yang sesuai dan tepat akan sulit untuk mencapai tujuan dan sasaran pendidikan yang diinginkan. Sebagai alat yang penting untuk mencapai tujuan, kurikulum hendaknya adaptif terhadap perubahan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan serta canggihnya teknologi.
Dengan mendasarkan pada kenyataan tersebut terlihat bahwa kurikulum merupakan bagian terbesar dari input sekolah yang paling banyak mendapatkan perhatian dalam upaya peningkatan mutu sekolah, karena dari kurikulumlah perubahan kemampuan, keterampilan dan sikap dari peserta didik direncanakan.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dilaksanakan secara nasional sejak tahun ajaran 2007/2008 merupakan hasil inovasi tiada henti dalam bidang kurikulum, dan sebagai upaya pembaharuan dalam pendidikan sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman.
Oleh kaena itu, KTSP ini perlu dipahami oleh sebagai pihak terutama oleh para pelaksana pendidikan di lapangan, guru, kepala dan pengawas sekolah/madrasah, jajaran mapenda baik tingkat pusat, provinsi maupn kabupaten atau kota madya, dan semua masyarakat yang peduli terhadap peningkatan kualitas pendidikan sekolah/madrasah. Perubahan kurikulum ini dilakukan agar menjadi suatu upaya perbaikan dan peningkatan kualitas yang berkesinambungan.
Dalam makalah ini akan dibahas beberapa hal yang berkaitan tentang implementasi kurikulum di sekolah/madrasah.

  1. Rumusan Masalah
  1. Pengetian Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
  2. Latar Belakang
  3. Implementasi dan Acuan Pengembangan KTSP
  4. Prinsip-prinsip pengembangan dan pelaksanaan KTSP
  5. Komponen KTSP
  6. Tujuan dan harapan implementasi KTSP
  1. Pembahasan
  1. Pengetian Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum yang disusun dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur, dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus.1
Penyusunan KTSP yang dipercayakan pada setiap tingkat satuan pendidikan hampir senada dengan prinsip implementasi KBK (kurikulum 2004) yang disebut pengelolaan kurikulum yang berbasis sekolah (KBS). Prinsip ini diimplementasikan untuk memberdayakan daerah dan sekolah dalam merencanakan, melaksanakan dan mengelola serta menilai pembelajaran sesuai dengan kondisi dan aspirasi mereka. Prinsip pengelolaan KBS mengacu pada “kesatuan dalam kebijaksanaan dan keberagaman dalam pelaksanaan”. Yang dimaksud dengan “kesatuan dalam kebijaksanaan” ditandai dengan sekolah-sekolah menggunakan perangkat dokumen KBK yang “sama” dikeluarkan oleh departemen pendidikan nasional. Sedangakn “keberagaman dalam pelaksanaan” ditandai dengan keberagaman silabus yang akan dikembangkan oleh sekolah masing-masing sesuai dengan karakteristik sekolahnya.2

  1. Latar Belakang
Dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan baik kualitas proses maupun hasil belajar, maka perlu disusun dokumen kurikulum sekolah yang dapat dijadikan acuan bagi guru dalam mengelola pembelajaran. Sebagai sebuah dokumen, kurikulum bukan hanya berisi tentang mengelola pembelajaran sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku termasuk pengembangan silabus yang bersumber dari standar isi dan standar kemampuan lulusan (SKL) seperti yang dirumuskan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), akan tetapi juga berisi tentang pengelolaan pembelajaran yang sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan daerah. Sesuai dengan visi dan misi sekolah yakni mempersiapkan anak didik yang memiliki kemampuan akademik yang tinggi serta mempersiapkan lulusan yang memiliki kesadaran dan dapat mengembangkan potensi daerah, maka perlu disusun kurikulum yang relevan dengan karakteristik daerah.3
Selain itu, bila dilihat dari berbagai sisi, kurikulum 2004 memang menjadi kurikulum yang memenuhi kesempurnaan secara konseptual. Namun berdasarkan penelitian di lapangan, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) ini menemukan berbagai kendala, terkait dengan pelaksanaannya. Sehingga perlu perangkat khusus yang mengatur secara teknis dan detail tentang pelaksanaannya tersebut. Di mana perangkat tersebut disusun berdasarkan pada kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Maka dibentuklah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dalam rangka menjembatani hal itu. Akhirnya melalui Undang Undang Republik Indonesia, Nomor 20 tahun 2003 (UU 20/2003) tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah RI No. 19 tahun 2005 (PP. 19/2005) tentang Standar Nasional Pendidikan, pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22, 23, dan 24 tahun 2006 mengamanatkan setiap satuan pendidikan untuk membuat KTSP sebagai pengembangan kurikulum yang akan dilaksanakan pada tingkat satuan pendidikan yang bersangkutan.4

  1. Implementasi dan Acuan Pengembangan KTSP
Implementasi merupakan suatu penerapan ide, konsep, kebijakan, atau inovasi dalam suatu tindakan praktis sehingga memberikan dampak, baik berupa perubahan pengetahuan, keterampilan maupun nilai dan sikap.
Implementasi kurikulum didefinisikan sebagai suatu proses penerapan ide, konsep, kebijakan kurikulum (kurikulum potensial) dalam suatu aktivitas pembelajaran, sehingga peserta didik menguasai seperangkat kompetensi tertentu, sebagai hasil interaksi dengan lingkungan.5
Berdasarkan definisi tersebut, implementasi KTSP adalah sebuah penerapan kurikulum yang disusun dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan.
KTSP dikembangkan melalui upaya pemberdayaan tenaga kependidikan dan sumber daya pendidikan lainnya untuk meningkatkan mutu hasil belajar di lingkungan masing-masing tingkat satuan pendidikan. Kesiapan sekolah/madrasah dalam mengembangkan dan mengimplementasikan KTSP sangat dipengaruhi oleh kondisi tenaga kependidikan dan sumber daya lainnya yang dimiliki oleh masing-masing satuan pendidikan.6
Selain itu, KTSP disusun dengan memerhatikan acuan operasional sebagai berikut:
  • Peningkatan iman dan taqwa serta akhlak mulia
Keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia menjadi dasar pembentukan kepribadian peserta didik secara utuh. Kurikulum disusun yang memungkinkan semua mata pelajaran dapat menunjang peningkatan iman dan taqwa serta akhlak mulia
  • Peningkatan potensi, kecerdasan dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemmapuan peserta didik
Kurikulum disusun agar memungkinkan pengembangan keragaman potensi, minat, kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, dan kinestetik peserta didik secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya.
  • Keragaman potensi dan karateristik daerah dan lingkungan
Daerah memiliki keragaman potensi, kebutuhan, tantangan, dan keragaman karakteristik lingkungan. Oleh karena itu, kurikulum harus memuat keragaman tersebut untuk menghasilkan lulusan yang dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan daerah
  • Tuntutan pembangunan daerah dan nasional
Pengembangan kurikulum harus memerhatikan keseimbangan tuntutan pembangunan daerah dan nasional.
  • Tuntutan dunia kerja
Kurikulum harus memuat kecakapan hidup untuk membekali peserta didik memasuki dunia kerja sesuai tingkat perkembangan peserta didik dan kebutuhan dunia kerja, khususnya bagi mereka yang tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
  • Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
Kurikululum harus dikembangkan secara berkala dan berkesinambungan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
  • Agama
Kurikulum harus dikembangakn untuk meningkatkan toleransi dan kerukunan umat beragama, serta memperhatikan norma agama yang berlaku di lingkungan sekolah
  • Dinamika perkembangan global
Kurikulum harus dikembangakn agar peserta didik mampu bersaing secara global dan dapat hidup berdampingan dengan bangsa lain
  • Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan
Kurikulum harus mendorong wawasan dan sikap kebangsaan dan persatuan nasional untuk memperkuat keutuhan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
  • Kondisi sosial budaya masyarakat setempat
Kurikulum harus dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat dan menunjang kelestarian keragaman budaya
  • Kesetaraan gender
Kurikulum harus diarahkan kepada pendidikan yang berkeadilan dan mendorong tumbuh kembangnya kesetaraan jender
  • Karakteristik satuan pendidikan
Kurikulum harus dikembangakn sesuai dengan visi. Misi, tujuan, kondisi, dan ciri khas satuan pedidikan.7

  1. Prinsip-prinsip pengembangan dan pelaksanaan KTSP
Di dalam Panduan Penyusunan KTSP jenjang pendidikan dasar dan menengah yang disusun oleh BSNP (2006) dinyatakan bahwa KTSP dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan di bawah koordinasi dan supevisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah.
Prinsip-prinsip pengembangan KTSP disesuaikan dengan aturan dan kebijakan yang telah ditentukan, yakni:
  1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungan
  2. Beragam dan terpadu
  3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
  4. Relevan terhadap kebutuhan kehidupan
  5. Menyeluruh dan berkesinambungan
  6. Belajar sepanjang hayat
  7. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.8

Adapun Prinsip-prinsip pelaksanaan KTSP adalah sebagai berikut:
  1. Didasarkan pada potensi, perkembangan dan kondisi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang berguna bagi dirinya. Dalam hal ini peserta didik harus mendapatkan pelayanan.
  2. Menegakkan kelima pilar belajar, yaitu: (a) belajar untuk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (b) belajar untuk memahami dan menghayati, (c) balajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif, (d) belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain, dan (e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri, melalui proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
  3. Memungkinkan peserta didik mendapat pelayananyang bersifat perbaikan, pengayaan, dan percepatan sesuai dengan potensi, tahap perkembangan, dan kondisi peserta didik dengan tetap memerhatikan keterpaduan pengembangan pribadi peserta didik yang berdimensi ke-Tuhanan, keindividuan, kesosialan, dan moral.
  4. Dilaksakan dalam suasana hubungan peserta didik dan pendidik yang saling menerima dan menghargai, akrab terbuka dan hangat, dengan prinsip tut wuri handayani, ing madya mangun karsa, ing ngarasa sung tuladha.
  5. Dilaksanakan dengan mendayagunakan kondidi alam, sosial, dan budaya serta kekeayaan daerah untuk keberhasilan pendidikan dengan muatan seluruh bahan kajian secara optimal.
  6. Mencakup seluruh komponen kompetensi mata pelajaran, muatan local dan pengembangan diri diselenggarakan dalam keseimbangan, keterkaitan, dan kesinambungan yang cocok dan memadai antarkelas dan jenis serta jenjang pendidikan.9

  1. Komponen KTSP
KTSP ada empat komponen, yaitu (1) tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, (2) struktur dan muatan KTSP, (3) kalender pendidikan, dan (4) silabus dan Rencana Pelaksanaan Pengajaran (RPP)

Komponen 1: Tujuan Pendidikan Tingkat Satuan Pendidikan
Rumusan tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan mengacu pada tujuan umum pendidikan berikut:
  1. Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
  2. Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut
  3. Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.

Komponen 2: Struktur dan Muatan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Struktur kurikulum tingkat satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah tertuang dalam standar isi, yang dikembangkan dari kelompok mata pelajaran sebagai berikut:
  • kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia
  • kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian
  • kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi
  • kelompok mata pelajaran estetika
  • kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan
kelompok mata pelajaran tersebut dilaksanakan melalui muatan dan atau kegiatan pembelajaran sebagaimana diuraikan dalam PP No. 19 tahun 2005 tentang standar Nasional Pendidikan pasal 7.
Muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan meliputi :
  • Mata Pelajaran
mata pelajaran beserta alokasi waktu untuk masing-masing tingkat satuan pendidikan tertera pada struktur kurikulum yang tercantum dalam daftar isi
  • Muatan Lokal
merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan darah, yang materinya tidak dapat dikelompokan ke dalam mata pelajaran yang ada.
  • Kegiatan Pengembangan Diri
pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan menngekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah.
  • Pengaturan Beban Belajar
Dalam tingkat SD/sederajat dan SMP/sederajat beban belajar masih dalam sistem paket. Sedangkan SMA/sederajat biasanya menambah jam pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik dalam pencapaian kompetensi.
  • Kenaikan Kelas, Penjurusan Dan Kelulusan
Kenaikan kelas, penjurusan dan kelulusan mengacu pada standar penilaian yang dikembangkan oleh BSNP.
  • Pendidikan kecakapan hidup
Pendidikan kecakapan hidup mencakup kecakapan pribadi, sosial maupun akademik
  • Pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global
Pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global dapat merupakan bagian dari pendidikan semua mata pelajaran, baik pada satuan pendidikan formal dan atau non formal yang sudah memperolaeh akreditasi

Komponen 3: Kalender Pendidikan
Satuan pendidikan dapat menyusun kalender pendidika sesuai dengan kebutuhan daerah, karakteristik sekolah, kebutuhan peserta didik dan masyarakat, dengan memerhatikan kelender pendidikan sebagaimana tercantum dalam standar isi.

Komponen 4: Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pengajaran
Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Berdasarkan silabus inilah guru bisa mengembangkannya menjadi Rancangan Pelaksanaan Pengajaran (RPP) yang akan diterapkan dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) bagi siswa.10

  1. Tujuan dan Harapan
Pengembangan KTSP bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah/madrasah melalui pemberian kewenangan, keluwesan, dan sumber daya untuk merancang kurikulum sendiri dengan mengacu pada rambu-rambu yang telah ditetapkan, serta memonitor dan mengevaluasi kurikulum yang dilaksanakan di sekolah/madrasah masing-masing. Dengan kemandirian tersebut diharapkan tercapai hal-hal sebagai berikut:
  1. Sekolah/madrasah sebagai satuan pendidikan lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi dirinya dibandingkan dengan lembaga-lembaga lainnya, sehingga ia dapat mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk mengembangkan dan mengimplementasikan KTSP.
  2. Sekolah/madrasah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya, khususnya imput pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sejalan dengan tingkat perkembangan dan dan kebutuhan peserta didik.
  3. Sekolah/madrasah dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada pemerintah, orang tua peserta didik, dan masyarakat pada umumnya stakeholders, sehingga ia akan berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan dan mencapai sasaran mutu pendidikan yang telah direncanakan.
  4. Sekolah/madrasah dapat meningkatkan daya saing lembaganya masing-masing sesuai dengan tuntutan perubahan dan perkembangan ipteks.
  5. Sekolah/madrasah dapat melakukan persaingan sehat dengan satuan pendidikan lain, baik di dalam maupun dengan luar negeri untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif, masyarakat, dan pemerintah daerah setempat.11

  1. ANALISIS
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan model kurikulum yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai penyempurnaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Kurikulum ini lahir seturut dengan tuntutan perkembangan yang menghendaki desentralisasi, otonomi, fleksibilitas, dan keluwesan dalam penyelenggaraan pendidikan. Pengalaman selama ini dengan sistem pendidikan yang sentralistik telah menimbulkan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap pusat sehingga kemandirian dan kreativitas sekolah tidak tumbuh. Maka dalam penerapan kurikulum ini mulai ada pemberian kewenangan kepada sekolah-sekolah untuk mengelola sesuai dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik.
Menurut penulis, KTSP adalah hasil kerja panjang dari para pakar dan praktisi pendidikan yang diorganisasi oleh pemerintah, oleh karenanya sikap yang bijak dari Kelas merupakan tempat untuk melaksanakan dan menguji kurikulum. Di sana semua konsep, prinsip, nilai, pengetahuan, metode, alat, dan kemampuan guru diuji dalam bentuk perbuatan, yang akan mewujudkan bentuk kurikulum yang nyata dan hidup. Perwujudan konsep, prinsip, dan aspek-aspek kurikulum tersebut terletak pada guru. Oleh karena itu, gurulah pemegang kunci pelaksanaan dan keberhasilan kurikulum. Dialah sebenarnya perencana, pelaksana, penilai, dan pengembangan kurikulum sesungguhnya.
Dalam KTSP penulis melihat adanya spirit untuk memberdayakan dan mempercayakan guru sekaligus mengembalikan hak-hak profesional yang melekat dalam jabatannya, termasuk hak dan otoritas dalam setiap kegiatan pengembangan kurikulum. Yang menjadi persoalan, seberapa siap para guru untuk menerima hak-hak dan otoritas profesional dalam mengembangkan kurikulum di sekolah. Dalam KTSP, tidak lagi disediakan berbagai petunjuk ketat dalam mengembangkan kurikulum. yang tersisa dari pusat hanyalah rambu-rambu yang berkenaan pencapaian Standar Kompetensi sebagaimana tertuang dalam Permendiknas No. 23 tahun 2006, selebihnya diserahkan sepenuhnya kepada guru untuk mengatur dan mengelola kegiatan pengembangan kurikulum di sekolah, yang disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi nyata di lapangan.
KTSP ini tak ubahnya seperti kertas kosong yang diberikan kepada guru untuk ditulisi sesuai dengan kemampuan yang ada pada diri guru itu sendiri. Ada tanggung jawab besar dari guru untuk bagaimana dapat menulis dalam kertas kosong itu sehingga akhirnya dapat dihasilkan tulisan yang benar-benar indah dan bermutu tinggi.
KTSP mau tidak mau mensyaratkan adanya kreativitas yang tinggi dari para guru untuk dapat mengembangkan kurikulum di sekolah. Tanpa berbekal kreativitas guru yang tinggi, maka celah untuk terjadinya kegagalan KTSP sangat terbuka dan hak-hak profesional guru pun tampaknya akan lepas lagi dan guru kembali menjadi tenaga tukang yang akan diatur pihak lain.
Kita berharap, melalui upaya standarisasi profesi dan sertifikasi guru, atau upaya peningkatan profesionalisme guru lainnya kiranya dapat mendorong para guru untuk menjadi lebih kreatif dalam mengembangkan kurikulum di sekolah, sehingga KTSP benar-benar dapat memberikan kontribusi bagi kemajuan pendidikan nasional.


  1. KESIMPULAN
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan kurikulum yang dianjurkan oleh pemerintah untuk dikembangkan di setiap lembaga pendidikan formal. Kurikulum ini bukan hanya berisi acuan bagi guru tentang mengelola pembelajaran sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, akan tetapi juga berisi tentang pengelolaan pembelajaran yang sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan daerah.
Kesiapan sekolah/madrasah dalam mengembangkan dan mengimplementasikan KTSP sangat dipengaruhi oleh kondisi tenaga kependidikan dan sumber daya lainnya yang dimiliki oleh masing-masing satuan pendidikan. Implementasi KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus. Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar.
Pengembangan KTSP bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah/madrasah melalui pemberian kewenangan, keluwesan, dan sumber daya untuk merancang kurikulum sendiri dengan mengacu pada rambu-rambu yang telah ditetapkan, serta memonitor dan mengevaluasi kurikulum yang dilaksanakan di sekolah/madrasah masing-masing.

  1. PENUTUP
Demikianlah makalah tentang implementasi KTSP. Penulis menyadari makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan. Maka demi perbaikan dalam pembuatan makalah selanjutnya, kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya. Amin.
DAFTAR PUSTAKA

  • Khaerudin, dkk, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Konsep dan Implementasinya di Madrasah, (Semarang: Madrasah Development Center (MDC), 2007)
  • Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada Sekolah dan Madrasah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008)
  • Muslich, Masnur, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009)
  • Sanjaya, Wina, Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, (Jakarta: Prenada MEdia Group, 2010)
  • Susilo, Muhammad Joko, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Manajemen Pelaksanaan dan Kesiapan Sekolah Menyongsongnya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)
1 Khaerudin, dkk, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Konsep dan Implementasinya di Madrasah, Semarang: Madrasah Development Center (MDC), 2007, hlm. 79
2 Masnur Muslich, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009, Hlm. 10
3 Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Jakarta: Prenada MEdia Group, 2010, Hlm. 153
4 Khaerudin, Op,cit., dkk, hlm. 5
5 Muhammad Joko Susilo, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Manajemen Pelaksanaan dan Kesiapan Sekolah Menyongsongnya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, Hlm. 174-175
6 Muhaimin dkk, Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada Sekolah dan Madrasah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008, hlm. 32
7 Masnur Muslich, Op,cit., Hlm. 11-12
8 Wina Sanjaya, Op,cit., hlm. 154
9 Muhaimin, Op,cit,, Hlm. 23
10 Masnur Muslich, Op,cit., Hlm. 12-16 (dengan penyedehanaan)
11 Muhaimin, Op,cit,, Hlm. 33-34

Senin, 08 November 2010

SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL DAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL DAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

I. PENDAHULUAN
            Pendidikan suatu hal yang mutlak yang harus dipenuhi dalam upaya untuk meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia agar tidak sampai tertinggal dengan bangsa lain. Karena itu system pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntuan pkehidupan loka, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembahauruan pendidikan secara terencan, terarah, dan berkesinambungan.     Tujuan pendidikan bangsa Indonesia dalam UU RI. No 20 tahun 2003 sebagai berikut; “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yangdemokratis serta bertanggung jawab.[1]
            Pendidikan Agama Islam juga merupakan salah satu subsistem dari pendidikan nasional, sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam UU RI no. 20 tahun 2003 tersebut, akan tetapi pendidikan agama islam mengalami sdikit kendala didalam prakteknya, salah satumya dikarenakan adanya dikotomi ilmu, yang mana masih membedakan antara ilmu umum dengan ilmu agama. Padahal sudah jelas bahwasannya pendidikan agama juga bertujuan untuk mewujudkan cita-cita pendidikan nasional.
            Dalam makalah ini kami akan mancoba menguraikan apa itu Sistem Pendidikan Nasional, Aspek aspek apa saja yang ada dalam Sistem Sendidikan Nasioanl, dan bagaimana kedudukan  Pendidikan Agama Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional.
II. RUMUSAN MASALAH       
A.     Apa Pengertian Sistem Pendidiakan Nasional?
B.     Aspek-aspek Saja Dalam yang Ada dalam Sistem Pendidikan Nasional?
C.     Bagaimana Kedudukan Pendidikan Agama Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional?
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Sistem Pendidikan Nasional
            Pendidikan dalam arti umum mencakup segala usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya serta keterampilannya kepada generasi muda untuk memungkinkannya melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama dengan sebaik-baiknya.
Istilah sistem merupakan istilah dari bahasa yunani “system” yang artinya adalah himpunan bagian atau unsur yang saling berhubungan secara teratur untuk mencapai tujuan bersama, Menurut C.W. Churchman, sistem adalah seperangkat bagian-bagian yang dikoordinasikan untuk melaksanakan seperangkat tujuan.[2] Sedangkan dalam UU no. 20 tahun 2003, bahwa yang dimaksud Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Jadi, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.[3]
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwasaannya pendidikan nasional dalam pelaksanaan pendidikannya adalah berdasarkan pada pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang mana dalam Undang-Undang 1945 Pasal 31 ayat (3) mengamanatkan bahwa “pemerintah mengusahankan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.”[4]
B. Aspek-Aspek Dalam Sistem Pendidikan Nasional
            Dalam UU No. 20 Tahun 2003 dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara ynag demokratis serta bertanggung jawab.[5]
            Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek dalam Sistem Pendidikan Nasional diantaranya  meliputi:
1. Aspek Keimanan
Sistem pendidikan harus menekankan aspek kepercayaan (iman), karena kepercayaan merupakan aplikasi konkret dari nilai-nilai yang berlaku dalam kehidupan manusia. Penerimaan ideologi tentang adanya Tuhan dan segala yang terkait dengan eksistensi-Nya inilah yang merupakan nilai, dan mengembalikan asal-usul kejadian khusus, seperti kejadian manusia, itu merupakan kepercayaan. Beranjak dari konsep tersebut, kurikulum pendidikan Islam harus mendasarkan semua bentuk pendekatan dan materi-materinya kepada nilai-nilai universal dan absolut guna menciptakan suatu kepercayaan dalam arti yang luas, yaitu kepercayaan terhadap keberadaan Tuhan, pertalian antara manusia dan Tuhan dan pertalian antara manusia dan alam .   
Dalam kaitannya dengan fungsionalisasi nilai-nilai ilahiah dalam bidang pendidikan, Hasan Langgulung  memberikan pandangan yang cukup menarik. Menurutnya, tujuan-tujuan pendidikan agama harus mampu mengakomodasikan tiga fungsi agama, yaitu :
a.    Fungsi spiritual yang berkaitan dengan akidah dan iman
b.    Fungsi psikologis yang berkaitan dengan tingkah laku individu
c.    Fungsi sosial yang berkaitan dengan aturan-aturan yang menghubungkan manusia dengan manusia lain secara khusus, dan masyarakat secara umum.
Uraian di atas pada intinya menegaskan bahwa suatu rumusan tujuan pendidikan tidaklah dibuat seenaknya, tapi tetap harus berpijak pada nilai-nilai yang digali dari ajaran  itu sendiri. Nilai dalam pendidikan merupakan penentu bagi arah  dan tujuan pelaksanaan pendidikan. Dengan demikian, nilai-nilai edukatif tersebut menjadi pengarah dalam merumuskan tujuan pendidikan, dan pada akhirnya menentukan corak kepribadian individu dan masyarakat yang dibina.
Di samping itu, pendidikan yang berlandaskan keimanan  sangat menentukan terinternalisasinya nilai-nilai moral dan pembentukan pola perilaku anak didik. Keimanan dalam jiwa manusia memberikan implikasi positif terhadap kecintaan kepada kebaikan sekaligus memotivasi untuk mentransformasikan doktrin-doktrin kebaikan dalam perilaku sosialnya. Dengan keimanan tersebut akn tercipta kesadaran transendental-humanistik, yang memberikan kepada manusia pemahaman dan kesadaran tentang keberadaannya sebagai manusia individual dan sosial.[6]
2. Aspek Moral
            Pendidikan adalah usaha sadar dalam rangaka meningkatkan kualitas eksistensial manusia tentu tidak dapat dilepaskan sedikitpun dari moralitas, bahkan semestinya penentuan penilaian akan keberhasilan suatu pembelajaran dalam pendidikan pada materi pelajaran apapun tidak dapat dilepaskan dari nilai moral yang didapat oleh anak didik ketika telah menyelesaikan suatu pembelajaran materi pelajaran tertentu. [7]
            Kemestian mengikuti nilai moral dalam setiap aktivitas pembelajaran di Sekolah, apalagi dalam  setiap materi pelajaran memang bukan sesuatu yang baru. Namun sayangnya fenomena pembelajaran di Sekolah pada materi-materi tertentu justru enggan mengikut sertakan nilai-nilai moral yang mestinya disampikan melalui materi pelajaran tersebut.
            Jadi dengan ringkas dapat dikatakan bahwa pembelajaran materi apapun dalam pendidikan mesti mengikutkan nilai-nilai moral disamping pengetahuan yang disampaikan tersebut, Bahkan ini  merupakan sesuatu yang sangat esensial, sekaligus sasaran utama dalam penilaian keberhasilan dalam pembelajaran.
3. Aspek Sosial Budaya
Sosial budaya merupakan bagian hidup manusia yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari. Setiap kegiatan manusia hampir tidak pernah lepas dari unsur sosial budaya. Sebab sebagian besar dari kegiatan manusia dilakukan secara kelompok.       
            Manusia adalah makhluk sosial, dimana manusia itu senang bergaul dan berinteraksi dengan manusia lain di dalam kehidupan bermasyarakatnya, maupun berinteraksi dengan lingkungannya. Hidup di masyarakat merupakan manifestasi bakat sosial individu, namun apabila tidak dipersiapkan dengan sebaik-baiknya, maka individu yang sesungguhnya berbakat hidup sosial di dalam masyarakat dan lingkungannya akan mengalami kesulitan apabila suatu kelak akan berada di tengah-tengah kehidupan sosialnya.
            Sosial mengacu kepada hubungan antar individu, antar masayarakat, dan individu dengan masayarakat. Unsur sosial ini merupakan aspek individu secara alami, artinya telah ada sejak manusia dilahirkan ke dunia ini. Karena itu aspek sosial melekat pada diri individu yang perlu dikembangkan dalam hidup agar agar menjadi matang. Disamping tugas pendidikan mengembangkan aspek sosial, aspek itu sendiri sangat berperan dalam membantu anak dalam upaya mengembangkan dirinya.
            Jadi yang paling penting di sini adalah membekali kemampuan individu agar kelak dapat dengan mudah menyesuaikan dirinya dengan masyarakat tempat di mana individu tersebut hidup.
4. Aspek Kesehatan
Selain memperhatikan aspek keimanan, moral, dan social budaya, Pendidikan Nasional juga harus memperhatikan aspek kesehatan demi mewujudkan tujuan Pendidikan Nasional tersebut. Karena  kesehatan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan, dan bangsa yang maju adalah bangsa yang memiliki kesehatan jasmani dan rohani.[8]
5. Aspek Kecerdasan (Intelektual)
            Untuk mewujudkan suatu bangsa yang manfaat di masa yang akan datang, Pendidikan Nasional tidak boleh melupakan satu aspek ini. Karena perkembangan jaman semakin pesat, dan apabila bangsa kita tidak dapat mengikuti perkembangan tersebut otomatis bangsa kita akan menjadi bangsa yang tertinggal. Jadi dengan adanyan generasi-generasi yang intelek  akan sangat di harapkan untuk dapat memajukan bangsa dan negara. [9]
C. Kedudukan Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam Sistem Pendidikan Nasional
Bila kita akan melihat pengertian pendidikan dari segi bahasa, maka kita harus melihat kepada kata Arab karena ajaran Islam itu diturunkan dalam bahasa tersebut. Kata pendidikan yang umumnya kita gunakan sekarang, dalam bahasa Arabnya adalah “Tarbiyah”, dengan kata kerja “rabba”. Kata pengajaran dalam bahasa Arabnya adalah “ta’lim” dengan kata kerjanya “allama”. Pendidikan dan pengajaran dalam bahasa Arabnya “Tarbiyah wa Ta’lim”, sedangkan pendidikan Islam dalam bahasa Arabnya adalah “Tarbiyah Islamiyah”.[10] Jadi, dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Agama Islam adalah Pendidikan melalui ajaran-ajaran agama islam, yaitu berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan itu ia dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran-ajaran agama islam yang telah diyakininya secara menyeluruh, serta menjadikan ajaran agama islam sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia maupun di akhirat kelak.
Dalam UUSPN No.2 Tahun 1989, mengenai tujuan pendidikan nasional berbunyi: “Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.”[11]
Dari uraian di atas jelas sekali bahwa status Pendidikan Agama Islam di Indonesia sangat mapan sebagai bagian tak terpisahkan dari Sistem Pendidikan Nasional. Di tinjau dari faktor-faktor pendidikan, maka Sistem Pendidikan Nasional terdiri atas : 1). peserta didik, 2). pendidik, 3). tujuan pendidikan, 4).lingkungan pendidikan, 5). sarana/alat pendidikan. Dilihat dari faktor-faktor tersebut, maka Pendidikan Agama Islam juga memiliki faktor-faktor : peserta didik ;seluruh anak indonesia yang beragama Islam, pendidik; sebagian warga negara Indonesia yang beragama Islam, Tujuan Pendidikan; beriman dan bertaqwa serta menjalankan agama menurut islam, sarana/alat; secara umum sama dengan pendidikan nasional.
Apabila kita bandingkan faktor-faktor yang dimiliki oleh kedua entitas di atas, maka kita melihat bahwa semua faktor yang dimiliki Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah merupakan bagian dari Sistem Pendidikan Nasional. Dilihat secara khusus dari tujuan, yang merupakan penentu arah gerak operasionalnya, maka jelas bahwa tujuan PAI adalah “mengkonkritkan” makna iman dan taqwa kapada Tuhan YME dalam Sisdiknas yang masih abstrak karena memang merupakan “abstraksi” dari iman dan taqwa menurut agama yang diakui di Indonesia.
Dengan demikian semakin jelas bahwa PAI merupakan “Subsistem dari Sistem Pendidikan Nasional” dan bahwa PAI dengan faktor-faktor yang dimilikinya jugamerupakan “sistem” tersendiri. Konsekuensinya adalah bahwa tanpa “Sistem Pendidikan Agama Islam” maka Sistem Pendidikan Nasional belum lengkap, karena merupakan “wadah” tumpuan utama bagi mayoritas warga negara. Dan hali ini berlaku bagi semua satuan yang tercakup dalam pengertian PAI sebelum Undang-Undang Nomor 2/1989.
Kedudukan PAI sebagai subsistem dari Sistem Pendidikan Nasional cukup kuat, akan tetapi dalam hal pelaksanaan masih dijumpai beberapa masalah, antara lain :
1. kurangnya jumlah jam pelajaran
Sebagaiman disebutkan dalam UUSPN No. 2/1989, tanggung jawab pendidikan sebenarnya merupakan tanggungjawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Di dalam pasal 9 (2) disebutkan :  satuan pendidikan luar sekolah meliputi keluarga, kelompok belajar, kursus dan satuan pendidikan yang kurang dari 1/3 dari waktu keseluruhan proses pendidikan yang dialami anak sehari-hari, yang lebih banyak menghabiskan waktunya di lingkungan keluarga dan masyarakat.
       Dalam salah satu seminar tentang pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemuda Pancaa Marga di Jakarta, Peter J. Drost Sj. Dalam makalahnya yang berjudul Alternatif Pemecahan Masalah dalalm Mewujudkan Konsep  Triunggal ( Keluarga Masyarakat dan Pemerintah) antara lain mengatakan : “sekolah bukanlah pengganti orang tua. Sekolah dalam artian lembaga pengajaran hanyalah Pembantu Para Orang Tua….”[12]
       Di dalam sebuah hadits disebutkan tentang fitrah yang menegaskan peran kunci orang tua dalam menentukan warna kepribadian anak bahwa “ setiap anak dilahirkan dalam fitrahnya; maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau majusi’. Hadits ini menunjukkan betapa besarnya peran orang tua di dalam pembelajaran agama islam.
       Dari uraian di atas dapat di tarik kesimpulam bahwa jumlah jam yang terbatas untuk pelajaran agam di Sekolah kiranya dapat dimaklumi karena sekolah hanya sebagai pembantu orang tua, menambah jam pelajaran mungkin dapat bermanfaat, akan tetapi kita harus ingat jumlah beban pelajaran yang sudah cukup sarat yang dipikul oleh para siswa. Disamping itu penambahan secara kuantitatif belum rentu menjamin tercapainya efektifitas dalam pembelajaran.  
2. Metodologi Pendidikan Agama
            Jumlah jam yang terbatas dengan materi pendidikan agam yang sarat, menyebabkan guru mengambil jalan yang paling mudah, yaitu melihat pendidiakn agama lebih sebagai “pelajaran” agama, sehingga pendwkatan yang dipakai adalah pendekatan ilmu yang lebih menyentuh ranah “kognitif”. Akibat ynag mudah diharapkan dari pendekatan itu adlah bahwa peserta didik hanya akan menumpuk bahan agama sebagai pengetahuan, yang tidak atau kurang berpengaruh terhadap pembentukan kepribadiannya.  Karena itu diperlukan pendekatan lain yang lebih komprehensif, yang menyenruh seluruh aspek pribadi yang sering disebut denganpendekatan “ wholistic” atau intregatif. Menurut Neilson (1980) ada beberapa factor yang mempengatuhi kualitas keberagaman seseorang, yaitu:
1). Kualitas pemahamannya tentang Tuhan sebagi nilai tertinggi dalam system agamanya, 2). Kadar pengalaman keagamaan sehari-hari, 3). Pandangan tentang dirinya (pengenalan jati diri).[13]
3. Masalah Dikotomi Pendidikan Agama  dan Pendidikan Umum.
            Munculnya dikotomi antara ilmu umum dengan ilmu agama bersumber dari perbedaan hakikat atau asal-usul keduanya. Agama sebagaimana yang diyakini oleh pemeluknya berasal dari Tuahn YME  yang diturunkan lewat nabi Muhammand. Agama diyakini mempunyai kebenaran “ mutlak” sebagai kebenaran “ transendental’. Sedangkan ilmu umum adalah hasil ciptaan rasio manusia, yang betapapun canggihnya, tetap mempunyai nilai kebenaran yang “nisbi”. Agma betolak dari iman atau keyakinan sedangkan ilmu umum justru dimulai dari keraguan.
            Ditinjau dari ajaran isalm,selurua ayat al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran islam, seluruhnya diyakini berasal dari Allah, karena itu al-Qur’an mempunyai kebenaran mutlak, namun terjemahan atau penafsiran manusia tentu bersifat nisbi, sehimgga senantiasa berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi . sebagian besar pelajaran agama teridri atas ilmu-ilmu ciptaan ulama hokum islam/fiqh/syari’ah. Ilmu Tafsir, ilmu Hadits dan ilmu Tauhid yang tidak memiliki kebenaran mutlak. Kecuali yang jelas merupakan ibadah mahdah  dan ayat-ayat al-Qur’an yang qath’iyud dalalah . Apabila demikian, satu kendala antara keduanya sudah teratasi. Implikasinya, bahwa ajaran agama terutama yang menyangkut kehidupan masyarakat dapat dikembangkan sesuai dengan perkembangan jaman. Atau lebih jelasnya, ilmu-ilmu agama berarti sejajar dengan ilmu-ilmu umum.           
            Secara diktatis, tujuan umum semua ilmu yang diajarkan di sekolah adalah untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, yaitu manusia Indonesia yang seutuhnya yang cirri utamanay adalah beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME. Kalau iman dan taqwa termasuk kategori religius, maka semua ilmu (agama dan umum) juga bernilai religius. Dan implikasi edukatifnya adalah bahwa semua guru, apapun bidang setudi yang diajarkananya, secara umum mempunyai tugas dan fumgsi yang sama, yaitu “ mengimankan dan mentaqwakan peserta didik”, di samping juga harus mencerdaskan, mantra,pilkan, menjadikan patriot dan sebagainya sebagaimana yang di formulasiakn dalam tujuan pendidikan nasional.[14]
4. Heterogenitas Pengetahuan dan Penghayatan Agama Peserta Didik.
            Adanya variasi upaya memperdalam agama anak didik yang dilaksanakan para orang tua memang telah menimbulkan heterogenitas tingkat pemahaman  dan penghayatan agama di kalangan peserta didik. Di tambah lagi dengan perbedaan lembaga pendidikan yang di tempuh sebelum memasuki pendidikan yang sekarang yang dengan adanya SKB 3 menteri memungkinkan siswa dari madrasah berpindah ke Sekolah Umum dan sebaliknya. Dengan tidak perlu meninggalkan ikatan kurikulum dan silabus, guru agama harus mengupayakan agar materi pelajaran dapat diterima oleh semua muridnya tanpa ada yang merasa dirugikan. Hal ini memang memerlukan keahlian tersendiri.
            Kurikulum yang fleksibel, dengan prinsip bahwa pendidikan agama di sekolah bukanlah “indoktrinasi/dakwah” kiranya perlu dipikirkan, sehingga meskipun nilai hasil ujian ulangan/ ujian pendidikan agama memang diperlukan sebagai alat evaluasi, akan tetapi hasil yang lebih penting adalah diserapnya pendidikan agama sebagai faktor integrasi dalam pembentukan pribada anak didik. Ketentuan bahwa nilai pendidikan agama minimal harus 6, telah menyebabkan adanya evaluasi yang formalistis tanpa memperhatikan hasil yang lebih adukatif.
5. Perhatian Guru dan Kepedulian Pimpinan Sekolah dan Guru-guru Lain.
            Pimpinan/kepala sekolah adalah orang pertama di suatu sekolah, yang bertanggung jawab atas jalannya proses belajar-mengajar di sekolah yang dipimpinnya. Karenanya, pendidikan agama sebagaimana diuraikan dalam pembahasan terdahulu merupakan sub-sistem dari keseluruhan  system pendidikan di sekolah, maka wajarlah apabila pimpinan sekolah menaruh perhatian yang minimal sama dengan sikapnya terhadap bidangstudi lainnya, syukur jikalau lebih, mengingat bahwa pendidikan agama merupakan substansi yang langsung menyangkut berhasil tidaknya kadar keimanan dan ketaqwaan siswa. Saran peribadatan seperti mushola baik berupa bangunan asli ataupun ruangan kelas yang difungsikan sebagai mushola jelas mempunyai nilai positif dalam proses internalisasi ajaran agama.[15]          
IV. KESIMPULAN
            Dari Uraian diatas dapat di simpulkan bahwa:
·        Sistem Pendidikan Nasioanal adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Pendidikan nasional dalam pelaksanaan pendidikannya adalah berdasarkan pada pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
·        Aspek- aspek dalam Sistem Pendidikan Nasional meliputi : aspek keimanan, aspek moral, aspek sosial budaya, aspek kesehatan, dan aspek kecerdasan (intelektual). Kesemua aspek tersebut berdasarkan tujuan pendidikan nasional yang sudah tercantum dalam UU RI No. 20 Tahun 2003.
·        Pendidikan Agama Islam mempunya kedudukan sebagai salah satu sub Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini sebagaimana yang diamanatkan dalam UU RI N0. 20 Tahun 2003 bahwa tujuan pendidikan nasioanl adalah untuk; “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
V. PENUTUP
            Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, untuk itu kritik dan saran sangat kami harapkan demi perbaikan makalah kami selanjutnya.

DAFATR PUSTAKA

Pidarta,Made. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta, 2004.
http://www.creative.web.id
UURI NO. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS. Bandung: Citra Umbara,2003.
Fathoni, M. Kholid. Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional. Jakarta: Depag RI, 2005.
http:// sisdiknas/aspek keimanan.co.id
M, Amril.  Etika dan Prndidikan.Yoqyakarta: Aditya Media, 2005.
http://sosial-budaya.blogspot.com
Darajat, Zakiah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara,2004
Azizy, A. Qodri A. Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika Sosial.Semarang: Aneka Ilmu,2003.
Thoha, Chabib, Abdul Mu’ti. PBM-PAI Di Sekola.Semarang: Pustaka Pelajar, 1998.


[1] Made Pidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia, ( Jakarta : Rineka Cipta, 2004) hlm. 6.
[3] UURI NO. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS, ( Bandung: Citra Umbara,2003), hlm. 3.
[4] M. Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional, (Jakarta: Depag RI, 2005) hlm. 10.
[5] Op.cit, hlm. 7.
[6] http:// sisdiknas/aspek keimanan.co.id/ 12-10-2010/ 13.00 WIB.
[7] Amril M, Etika dan Prndidikan (Yoqyakarta: Aditya Media, 2005) hlm. 20.
[9] Ibit / 13-10-2010/09.00 WIB.
[10] Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta: Bumi Aksara,2004),hlm. 25.
[11]A. Qodri A. Azizy, Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika Sosial(Semarang: Aneka Ilmu,2003),hlm.21.
[12] Chabib Thoha, Abdul Mu’ti, PBM-PAI Di Sekolah, (Semarang: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 6.
[13] Ibit, hlm. 8.
[14] Ibit, hlm.11.
[15] Ibit. Hl. 15.